Membangun keluarga di sebuah rumah yang sederhana, aman, dan nyaman tentunya merupakan impian bagi setiap insan. Namun sayang, bagi jutaan rumah tangga di Indonesia mimpi tersebut hanyalah sekedar angan-angan. Pasalnya per tahun 2022 kemarin, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), masih ada lebih dari 12 juta rumah tangga Indonesia yang belum memiliki rumah yang sehat dan layak huni. Tingginya angka backlog kepemilikan rumah atau kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah juga turut ikut menggambarkan akutnya permasalahan perumahan di Indonesia. Di mana menurut Survei yang dilakukan oleh BPS, angka backlog di Indonesia masih tergolong sangat tinggi yakni 9,9 juta unit pada tahun 2023.
Permasalahan perumahan ini memang selalu menjadi masalah yang bergilir dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Itu mengapa dari tahun ke tahun, menyelaraskan angka permintaan serta penawaran rumah selalu menjadi fokus utama pemerintah, tidak terkecuali pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menyediakan perumahan serta pemukiman yang layak, aman, dan terjangkau merupakan salah satu dari lima arahan yang diberikan Presiden Joko Widodo selama masa kepemimpinannya demi merealisasikan misi Nawacita dan Visi Indonesia 2045. Hal ini terlihat bagaimana selama masa kepemimpinannya, pemerintah cukup gencar meluncurkan beberapa program yang bertujuan untuk menyediakan fasilitas perumahan khususnya bagi kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Contohnya seperti Program Satu Juta Rumah, ataupun program subsidi perumahan dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang menawarkan bunga KPR rendah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Walaupun begitu, kombinasi program-program tadi masih dinilai belum cukup untuk menekan angka backlog perumahan di Indonesia. Ditambah lagi beban fiskal yang dihasilkan oleh program-program ini tidaklah kecil. Menurut data dari Kemenkeu RI, sejak tahun 2015 sokongan APBN untuk menyediakan rumah terjangkau bagi masyarakat setidaknya sudah mencapai Rp228,9 triliun. Hal ini kemudian mendorong pemerintah untuk menghadirkan program baru yang dapat terus menopang penyediaan rumah bagi masyarakat tanpa harus menambah beban fiskal pemerintah.
Itu sebabnya pada akhir bulan Mei tahun 2024 lalu, melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 pemerintah menetapkan sebuah program yang menyokong “semangat gotong royong” untuk menyediakan dukungan fasilitas finansial dalam membeli rumah yang dinamakan dengan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Apa Itu Tapera dan Seperti Apa Mekanismenya?
Tapera adalah sebuah program yang bertujuan untuk menyediakan skema tabungan perumahan yang dapat membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah sendiri. Nantinya para pekerja di sektor formal maupun informal akan diwajibkan oleh pemerintah untuk mendaftar kepesertaan Tapera. Setelah terdaftar peserta akan dikenakan iuran wajib sebesar 3% dari pendapatan mereka dengan sistem cost-sharing, di mana 2,5% dibayarkan oleh pekerja dan 0,5% ditanggung oleh perusahaan. Namun bagi peserta yang merupakan pekerja Mandiri atau freelancer, mereka harus menanggung iuran Tapera mereka sepenuhnya sebesar 3% dari pendapatan bulanan.
Meskipun begitu, tidak semua golongan peserta berhak untuk mendapatkan manfaat dari program bantuan penyediaan rumah ini. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para peserta, di antaranya; (1) Berumur diatas 20 tahun dan memiliki pendapatan maksimal 8 Juta Rupiah (10 Juta Rupiah untuk wilayah papua). (2) Peserta termasuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Dan, (3) Pekerja sudah menjadi peserta Tapera selama minimal satu tahun.
Dana yang terkumpul dari skema iuran ini nantinya akan dikelola oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang akan menginvestasikan kumpulan dana masyarakat ke pasar modal. Keuntungan yang didapatkan oleh BP Tapera inilah yang kemudian akan digunakan pemerintah untuk menyediakan fasilitas pembiayaan rumah bagi peserta yang memenuhi syarat melalui tiga skema manfaat yakni Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR).
Alasan Dibalik Tapera
Ditetapkannya program Tapera bukannya tanpa sebab. Tingginya angka backlog perumahan di Indonesia menjadi alasan utama pemerintah untuk mengimplementasikan program ini sesegera mungkin. Jika dilihat melalui aspek fiskal, program Tapera secara relatif memiliki beban fiskal yang jauh lebih rendah dibandingkan program-program pembiayaan rumah lainnya. Berdasarkan kajian dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dalam setahun beban program Tapera bagi APBN hanya diprediksi berada di kisaran Rp1 triliun. Angka ini tentu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan program-program sejenis seperti FLPP yang dibiayai 100% oleh APBN, yang per tahunnya dapat membebani APBN sampai dengan Rp 9 Triliun.
Hal ini tentu menjadi krusial, terutama jika kita melihat agenda pembangunan pemerintah ke depannya yang cenderung sangat ekspansif, seperti pembangunan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang diprediksi akan menelan dana hingga Rp 480 triliun ataupun program pemerintahan baru yakni Makan Bergizi Gratis yang beberapa waktu lalu anggarannya baru ditetapkan di angka Rp 71 triliun untuk tahun 2025. Adanya Program Tapera ini tentunya memperbolehkan pemerintah untuk menyediakan program bantuan pembiayaan rumah tanpa perlu merogoh kocek APBN lebih dalam.
Selain itu, beberapa analis maupun ekonom menilai program ini memiliki dampak spillover manfaat yang cukup signifikan bagi perekonomian. Contohnya Ekonom FEB UI, Fithra Faisal, berpendapat jika program Tapera berpotensi memberikan efek multiplier yang besar bagi perekonomian. Hal ini karena keberadaan program Tapera akan mendorong sektor perumahan yang akan berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut kajian dari BKF pada tahun 2019, secara konseptual program Tapera juga akan memperkuat sektor finansial domestik melalui peningkatan jumlah masyarakat yang dapat mengakses sektor finansial dan perbankan (bankability) yang akan berpengaruh dalam meningkatkan pendalaman pasar keuangan Indonesia.
Pengusaha & Buruh Menolak – Tapera Untuk Siapa?
Figur 1: Proporsi Alokasi Gaji Bersih Pekerja Setelah Tapera (LPEM, 2024)
Di sisi lain, penetapan program Tapera mengundang banyak sekali polemik dari berbagai macam lapisan masyarakat. Salah satunya datang dari serikat buruh. Dilansir dari kompas.id, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) telah menyatakan keberatan mereka terhadap adanya program Tapera karena dinilai akan menambah potongan upah bulanan bagi pekerja. Apalagi sekarang ini, para pekerja sudah dibebani banyak sekali potongan wajib seperti Pajak Penghasilan (PPh), iuran BPJS kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan masih banyak lagi. Menurut kajian dari LPEM FEB UI, iuran Tapera akan mengurangi proporsi upah bersih yang dibawa pulang oleh pekerja menjadi maksimal 88,5% dari gaji kotor mereka per bulannya.
Selain itu, manfaat dari program Tapera ini juga dinilai kurang menarik bagi para buruh. Berbeda dengan program BPJS yang manfaatnya bisa dinikmati oleh seluruh kelompok peserta, manfaat dari program Tapera hanya dapat dinikmati oleh peserta yang memenuhi syarat dan ingin membeli rumah saja. Memang bagi peserta yang tidak ingin membeli rumah, mereka memiliki opsi untuk mencairkan dana mereka di akhir masa kepesertaan. Namun, menurut beberapa ekonom, salah satunya Fithra Faisal, mekanisme tersebut akan menghasilkan opportunity cost bagi para pekerja karena timbal hasil dari program Tapera ini dinilai tidak sepadan dengan valuasi ekonominya ketika masa kepesertaan telah berakhir.
Tidak hanya menuai kontra dari serikat buruh, protes terhadap program Tapera juga dilayangkan oleh para pengusaha. Dilansir dari CNBC Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga turut menyatakan keberatan mereka terhadap program ini. Pasalnya, program Tapera dinilai akan menambah beban kontribusi para penyedia kerja, yang menurut prediksi LPEM FEB UI akan menjadi sebesar 11.5%, jika Tapera diimplementasikan. Angka ini sudah jauh melampaui angka rata-rata kontribusi penyedia kerja di negara-Asean yang berada di angka 9,9%. Hal tersebut tentunya akan mengurangi daya tarik Investasi domestik maupun asing di sektor formal Indonesia yang disebabkan oleh banyaknya pungutan resmi yang dibebankan kepada penyedia kerja.
PR Panjang Pemerintahan Baru
Walaupun dinilai dapat menjadi jurus jitu untuk mengatasi permasalahan backlog perumahan di Indonesia, deretan masalah yang muncul dari adanya program Tapera tentu akan menambah daftar panjang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan baru nantinya. Dilansir dari detik.com, Calon Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, telah mengeluarkan pernyataan bahwa ia dan pemerintahan baru nantinya akan mempelajari program Tapera lebih lanjut dan mencarikan solusi terbaik atas masalah yang muncul dari diberlakukannya program tersebut.
Hal ini menjadi sangat penting mengingat rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan paling mendasar yang dibutuhkan masyarakat. Sudah seharusnya Pemerintah baru dapat memformulasikan sebuah solusi yang bisa merealisasikan mimpi Indonesia untuk meraih zero backlog perumahan di tahun 2045 tanpa perlu membebani masyarakat.
Referensi:
Betriani Sinambela, N. (2024, May 30). Program Tapera jadi polemik, begini kata pengamat. kontan.co.id. https://keuangan.kontan.co.id/news/program-tapera-jadi-polemik-begini-kata-pengamat
CNN Indonesia. (2024a, May 30). Tapera, apa fungsinya? [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=HMNUw3mW0WI
CNN Indonesia. (2024b, May 30). Tapera Bikin Resah Pekerja saat PHK Merajalela [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=lGHXR35_Fn0
Fadilah, I. (2023, August 31). Bangun Rumah buat MBR, Pemerintah Sudah Gelontorkan Rp 108,5 T Sejak 2010. Detikproperti. https://www.detik.com/properti/berita/d-6906310/bangun-rumah-buat-mbr-pemerintah-sudah-gelontorkan-rp-108-5-t-sejak-2010
Prasetyantoko, A. (2024, June 3). Tapera dan Pembenahan Institusi. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/06/03/tapera-dan-pembenahan-institusi?open_from=Search_Result_Page
Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2019). Kajian Dampak Makrofiskal Penyelenggaraan Program Tapera. fiskal.kemenkeu.go.id. https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2019/06/27/144711314173878-kajian-dampak-makrofiskal-penyelenggaraan-program-tapera
Rachman, A. (2024, June 13). Sri Mulyani Ungkap APBN yang Mengalir ke Tapera Lebih dari Rp 105 T. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240613095033-4-546250/sri-mulyani-ungkap-apbn-yang-mengalir-ke-tapera-lebih-dari-rp-105-t
Sofiyandi Simbolon, Y., Reza Kurniawan, Y., A Desdiani, N., & W Wahyuputri, F. (2024). Ribut Soal Tapera: Kebijakan “Harga Mati” untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional? In lpem.org. LPEM FEB UI. https://lpem.org/ribut-soal-tapera-kebijakan-harga-mati-untuk-turunkan-angka-kekurangan-perumahan-nasional-special-report-juni-2024/Teras Narang, A. (2024, June 2). Tapera untuk Siapa. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/06/02/tapera-untuk-siapa?open_from=Search_Result_Page